SEJARAH PANCASILA

 


UNIVERSITAS PELITA BANGSA
PANCASILA STUDI S1 BISNIS DIGITAL

NAMA : BAGUS ANANDA KUSUMA
NIM : 152210015
NAMA DOSEN : ABDUL LATIEF.,SE.,MM




BAB I PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA (Lanjutan)

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila

1. Dinamika Pendidikan Pancasila

Sebagaimana diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam

pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya pembudayaan atau pewarisan

nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai

dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal

kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh

bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1

Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila.

Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang

sebagaimana diketahui sebelumnya, beliau menjadi Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai

(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).

Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/Pendidikan Pancasila adalah setelah

Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan K, dengan judul

Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Buku tersebut diterbitkan dengan maksud

membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku

yang berjudul Penetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961, dengan

penerbit CV Dua-R, yang dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku

tersebut nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara. Tidak lama

sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah

satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI

Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan

Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang digolongkan dalam

mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti, menerbitkan SK, Nomor

25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum

(MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan SK tertanggal 5 Desember 1983, Nomor

86/DIKTI/Kep/1983, tentang Pelaksanaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi. Kemudian, dilengkapi dengan SK Kepala BP-7

Pusat tanggal 2 Januari 1984, Nomor KEP/01/BP-7/I/1984, tentang Penataran P-4 Pola Pendukung

100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul

kemudian diterbitkan SK tanggal 13 April 1984, No. KEP-24/BP-7/IV/1984, tentang Pedoman

Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh Fakultas/Akademi dalam

Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru

Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta. Dampak dari beberapa kebijakan pemerintah

tentang pelaksanaan Penataran P-4 tersebut, terdapat beberapa perguruan tinggi terutama

perguruan tinggi swasta yang tidak mampu menyelenggarakan penataran P-4 Pola 100 jam

sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan atau tanpa penataran

P-4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta

yang menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam bersamaan dengan itu juga melaksanakan

mata kuliah pendidikan Pancasila.

Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur Jenderal

Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan Daftar Perkuliahan, yang

menjadi landasan yuridis bagi keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi. Keberadaan

mata kuliah Pancasila semakin kokoh dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa

kurikulum pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila. Kemudian, terbit

peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, yaitu khususnya pada pasal 13 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, jo.

Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata

kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik

program diploma maupun program sarjana.

2. Tantangan Pendidikan Pancasila

Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar, dorongan pokok dan

bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar Pancasila ini, kekuasaan negara akan

menyeleweng. Oleh karena itu, segala bentuk penyelewengan itu harus dicegah dengan cara

mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar moral (1979:14). Agar Pancasila menjadi

dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi generasi penerus pemegang estafet

kepemimpinan nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus dididikkan kepada para mahasiswa

melalui mata kuliah pendidikan Pancasila.

Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah pendidikan Pancasila

dapat diselenggarakan di berbagai program studi dengan menarik dan efektif. Tantangan ini dapat

berasal dari internal perguruan tinggi, misalnya faktor ketersediaan sumber daya, dan spesialisasi

program studi yang makin tajam (yang menyebabkan kekurangtertarikan sebagian mahasiswa

terhadap pendidikan Pancasila). Adapun tantangan yang bersifat eksternal, antara lain adalah krisis

keteladanan dari para elite politik dan maraknya gaya hidup hedonistik di dalam masyarakat.


E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pendidikan Pancasila untuk Masa Depan

Menurut penjelasan pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun

2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang dimaksud dengan mata kuliah pendidikan Pancasila adalah

pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai

ideologi bangsa Indonesia. Dengan landasan tersebut, Ditjen Dikti mengembangkan esensi

materi pendidikan Pancasila yang meliputi:

1. Pengantar perkuliahan pendidikan Pancasila

2. Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia

3. Pancasila sebagai dasar negara

4. Pencasila sebagai ideologi negara

5. Pancasila sebagai sistem filsafat

6. Pancasila sebagai sistem etika

7. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.


Pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan dalam mata kuliah

pendidikan Pancasila adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada mahasiswa (student

centered learning), untuk memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila baik sebagai etika,

filsafat negara, maupun ideologi bangsa secara scientific. Dengan harapan, nilai-nilai Pancasila

akan terinternalisasi sehingga menjadi guiding principles atau kaidah penuntun bagi mahasiswa

dalam mengembangkan jiwa profesionalismenya sesuai dengan jurusan/program studi masing-

masing. Implikasi dari pendidikan Pancasila tersebut adalah agar mahasiswa dapat menjadi insan

profesional yang berjiwa Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu,

urgensi pendidikan Pancasila adalah untuk membentengi dan menjawab tantangan perubahan-

perubahan di masa yang akan datang.


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003, pasal 3 menegaskan

bahwa:pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.


.

Ref:

Ditjen DIKTI Depdiknas. 2016. Kapita Selekta Pendidikan Pancasila, Bag.1, Jakarta: Dirjen Dikti

Depdiknas.

Komentar